Mengusahakan Memilih

12 Aug

They say we manifest our intentions that we choose how we live, but when life doesn’t turn out the way you’d hoped it makes you stop and wonder did you ever really have a choice or is this just the way it was meant to be? How much of our lives can we choose and how much is just who we are?” (Erica Strange, Being Erica season 3)

Quote barusan gue ambil dari salah satu serial tv Canada yang cukup menarik perhatian gue akhir-akhir ini. Judulnya Being Erica. Serial ini pada umumnya menceritakan tentang seseorang yang mengalami banyak kekecewaan dalam menjalani hidupnya yang sekarang diakibatkan oleh kesalahan keputusan-keputusan yang Ia tetapkan sebelumnya. Erica diberi kesempatan menjalani time-traveller therapy untuk dapat kembali ke masa lalunya dan mengambil insight dari hal-hal yang telah Ia jalani, bukan merubah decisionnya.Sebetulnya sih gue bukan mau menceritakan si Being Erica ini, Cuma ya ilustrasi singkat aja siapa tau adiksi gue terhadap serial ini bisa ditularkan ke kalian yang membaca postingan gue kali ini hehe.

Here it is, one of my friends lost a parent a few days ago. It was sad, supersad. Teman gue ini ya salah satu orang yang menurut gue dalam jangka waktu dekat gue mengenalnya termasuk orang yang baik hati dan menyenangkan. Dia pernah berbagi beberapa cerita mengenai kehidupannya. Waktu itu kami pernah mengobrol berjam-jam mengenai keputusasaannya menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang memang di ujung tanduk. Dia menjelaskan bagaimana sedari dulu sebetulnya memang kurang memikirkan pendidikan atau masa depan atau hal apapun yang sifatnya bisa dipikir nanti. Beberapa keputusan dia di masa lalunya mungkin turut mendukung kondisinya saat ini. Ya selain memang dengan fakta kehidupan ekonomi dan latar belakang keluarga yang menurutnya turut membentuk kondisinya sekarang ini. Pada akhirnya memang kondisinya yang di ujung tanduk tidak dapat diselamatkan dan kemudian musibah lain datang. Ketika gue mendengar kabar duka tersebut, gue terdiam aja sih membuang nafas berat sambil kepikiran “Aduh gimana ya dia nanti nasibnya ke depannya?” dan gue sama sekali nggak bisa membayangkannya.

Di waktu lain gue menghadiri sebuah seminar menulis novel dengan pembicara Ahmad Fuady. Beliau adalah pengarang novel negeri 5 menara, yang sejujurnya gue juga belom baca. Gue mendengarkan kisah hidupnya dari kecil secara singkat. Bagaimana Ia sebagai pemuda dari daerah di minang yang sekolah agama dan ekonomi tidak memadai lalu dengan segala kegigihannya mencapai tujuan Beliau bisa keliling dunia. Beliau bilang, modalnya hanya dengan menulis dan segala macam pintu terbuka. Pada seminar itu gue mendengarkan kalimat demi kalimat yang Beliau ucapkan mengenai bagaimana proses menyusun novelnya. Keputusannya untuk menjalani sekolah agama mana yang menurutnya mungkin masih bisa membuatnya belajar tidak hanya lingkup keagamaan saja, keputusannya untuk menulis dengan tujuan berbagi ke orang lain. Gue mengagumi keteraturannya menjalani hidup, dan struggle of lifenya menjalani masalah-masalah dalam kehidupannya.

Setelah seminar tersebut gue pulang larut dan Ayah gue ternyata masih terduduk di ruang TV menunggu gue kembali ke rumah. Gue memilih duduk ikut nonton tv ketimbang masuk ke kamar. Gue bilang, gue takut, takut membayangkan nanti gue gimana, dengan dinamika hidup gue yang kurang jelas ini. Gue takut kalau nanti gue harus bernasib kehilangan segalanya dan cenderung nggak punya jalan atau sulit menemukan jalan menstabilkan kehidupan gue. Selama ini gue hidup enak aja, aman-aman aja, teman-teman dekat gue juga sama, tiba-tiba gue ketemu 1-2 orang yang bener-bener pola hidupnya mencengangkan. Mereka yang bener-bener menganggap kehidupan gue sama dengan teori di buku, terlalu teratur, terlalu naïf, ribet karena semua serba direncanakan atau semua serba dipikirin. Sementara mereka-mereka ini orang yang hidup untuk hari ini, bahkan mungkin hanya jam ini. Dan mereka yang memperlihatkan ke gue kesulitan hidup hari ini atau besok mikir makan apa, bayar sekolah gimana itu begitu dekatnya ternyata dengan lingkungan gue, ya iya sih. Gue bilang ke ayah gue, kenapa bisa ada orang yang sebegitu carelessnya terhadap hidupnya apa dia nggak takut? Sekali lagi entah berapa juta kali ayah gue hanya menjawab, “Lah kamu kok kaget? Ya biasalah orang itu kan dia memilih sendiri jalan hidupnya, itu yang mereka pilih ya sudah mau gimana lagi, dia Cuma beda aja pilihannya sama kamu, atau sama Fuady mungkin? Beda aja masalahnya beda, beda memilih jalan kehidupan.”

Sama seperti quote yang gue paparkan sebelumnya, dimana gue memanifestasi intensi gue terhadap banyak hal untuk mengejar dan memilih kehidupan yang gue inginkan, mungkin untuk tahun depan, 3 tahun, 5 tahun, atau bahkan 10 tahun dari sekarang. Tapi tetep kan nggak tau gitu di depan ntar ada apaan. Dan itu menakutkan kalau dipikirin kelamaan. Kegundahan gue tetap gue ceritakan panjang lebar kepada Ayah gue, mengenai ketakutan ntar gimana kalo tau-tau gue bener-bener drop idupnya, dsb. Beliau hanya melirik sebentar dan berkata, “Ya itu makanya kamu sekolah kan? Kuliah sampe selesai? Mengusahakan semampunya sampai bisa lulus? Lo mengusahakan keteraturan dalam hidup lo setidaknya.”

Kata Ayah gue, sebetulnya dalam hati tiap orang pasti mau hidup nyaman, bahagia, dan ingin teratur. Bukan masalah bisa pasti menjamin kehidupan nanti, tapi setidaknya peluang untuk hidup nyaman bagi mereka yang menteraturkan hidupnya bisa jadi lebih besar. Walaupun ya di luar sana masih bisa ditemukan ada beberapa orang yang emang nggak taulah kenapa ketiban aja gitu musibah dan jadinya tetep timbul pertanyaan, hidup kita tuh kita yang milih apa udah dikasih garis dari sananya?

Ketakutan mengenai dikasih garis dari sananya ini sih krisi terbesar gue akhir-akhir ini. Terus bisa apa? Ketimbang gue kebanyakan bengong gitu mungkin gue usaha aja kali ya, mendeterminasikan semua hal supaya sampai ke goal gue yang masih terus-terusan bercabang juga. Setidaknya gue mengusahakan untuk memilih hidup gue, ya paling tidak gue berusaha memilih gue akan jadi siapa entah nantinya porsi mana yang lebih besar diberikan kepada gue, porsi pilihan gue atau porsi yang sudah tergaris dari sananya yang betul-betul misteri.

Well however I do believe that we are consist of the decisions we made before, they construct ourselves today. Hm decision making is one of the survival skills in the end.-fin

Leave a comment