Lately

15 Nov

Well I know it’s been a very long time that I haven’t written anything in this blog. I do really miss writing and here I am trying to continue what I’ve done before.

Sebetulnya sudah agak lama ingin menulis lagi, terlalu banyak yang ingin dibicarakan dari mulai tidak penting sampai mungkin agak sedikit penting, cuma ya biasa banyak distraksi yang berseliweran sehingga lebih baik dibiarkan saja dulu sampai gue benar-benar mulai ingin menulis lagi.

Tadinya gue sempet dilema dengan beberapa keadaan, apa mau ganti image blognyakah atau ganti addressnya sekalian atau apapun. Tapi yaudahlah let this be genuine, whatever happens, happens. Toh menulis buat gue bukan sekedar membangun citra diri, tetapi juga merupakan sublimasi dari hasrat eksplorasi yang mulai meloncat kesana-kesini, atau ya mungkin dari dulu juga begitu sih.

Sebelum kebasian menulis gue dari awal tahun 2012 berlanjut dengan sempurna, gue mau mulai menulis blog ini dengan suatu hal yang mungkin sudah tersangkut di otak gue berhari-hari, terselip di kepala seorang perempuan yang dalam beberapa waktu lagi menginjak quarter life crisis, dilema masa depan.

Dimulai dari detik dimana skripsi gue selesai dibimbing oleh seseorang yang sudah gue kagumi sejak lama, Ibu Tati, atau kalau tertarik mencari tahu Beliau siapa you may also browse or google her name : Prof. Sri Hartati Reksodipuro Suradijono. Pada akhir bimbingan Beliau mengatakan sebuah kalimat yang membuat gue merinding, “Follow your passion, money will come along with it.”

Gue menghela nafas panjang setelah menceritakan berbagai macam rencana di kepala gue yang menurut gue menakutkan. Rencana yang menurut gue kayaknya gue sendiri nih otaknya nggak mampu juga mencapai ke sana. Makanya kenapa gue sayang banget sama pembimbing gue, dia terus-terusan menyemangati gue berjalan sampai detik dengan langkah yang lebih yakin. Beliau terakhir sms “If you have anything to share, share with me.”

Oh iya mungkin loncat, saat ini gue melanjutkan kuliah gue ke S2 profesi psikologi klinis anak UI, sekali lagi mengadu nasib dan menantang kegigihan di tempat yang sama. Baru berjalan sekitar 2 bulanan lewat dan banyak orang baru yang gue temui mulai dari dosen sampai teman-teman kelas yang membuat gue semakin semangat bersekolah, setidaknya sampai hari ini.

Sebelumnya setelah lulus gue mencoba bekerja di suatu bank asing menjadi HR-recruitment, dengan sebuah alasan sederhana yaitu ingin mengeksplorasi hal lain di luar hal yang gue minati, perkembangan anak dan pendidikan. Gue nekad beralih ke sebuah field yang gue sama sekali nggak minat, industri organisasi dan corporate, iya corporate, mau tau aja dia sehebat apa. Mungkin di post selanjutnya gue akan ceritakan lebih jelas pekerjaan gue ini, gue hanya bisa bilang gue bersyukur pernah bekerja walaupun sebentar dengan tim yang hebat dan di sebuah corporate ternama dengan segala lika-likunya. Satu hal yang sangat gue syukuri adalah support dari para bos gue dengan semua keputusan gue.

Sedari awal gue interview, gue memang mendaftar di program internship mereka yang kualifikasinya bachelor degree in psychology dengan durasi 6 bulan. Ketika interview gue ditanya mengenai minat gue dan alasan gue mau bekerja di corporate tersebut. Gue jawab jujur bahwa gue tidak memiliki minat di field banking, corporation, dll, gue hanyalah seseorang yang baru lulus dan ingin bekerja, mencari ilmu di sebuah pekerjaan dan di hal yang tidak pernah gue minati tapi gue tau itu penting. Interviewer gue adalah supervisor gue, Beliau bernama Mba Dewi Sukmawaty. Mba Dewi sempat bilang “Kalau minat kamu ke anak-anak saya bisa bantu carikan teman-teman yang relevan di field kamu, tetapi I assure you, I don’t know that we can meet your expectation of learning or not, tapi kamu bisa belajar banyak hal yang nantinya bisa membantu kamu di field yang kamu pilih, walaupun tidak secara langsung.” And those magic words are really helpful. Satu hal yang sangat gue pelajari adalah, membangun kenyamanan dari dalam diri sendiri, bukan dari faktor eksternal.

Singkat cerita, kontrak gue pada saat itu sudah habis dan gue ditawarkan untuk memperpanjang. Keputusan gue supergambling, gue melepas kontrak gue dan ikut seleksi. Hebatnya, dukungan dari Mba Dewi dan Mba Ira (Bos gue satu lagi) dan sederet team HR luar biasa. Satu hal yang paling gue ingat adalah kata-kata Mba Dewi di hari gue megundurkan diri, “Jangan sampai kita dikontrol stress, kalo stress kamu harus kontrol balik stressnya, aku yakin kamu pasti bisa kerja apa aja Saski.”

Kata-katanya biasa kan? Kebanyakan orang pasti pernah dengar, tapi buat gue, itu obor semangat baru setelah Bu Tati dan keluarga gue pastinya. Keluarga gue yang mendukung keputusan gue membelot karir dari awal, memutuskan tidak berkarir di bidang-bidang yang biasa ditekuni keluarga gue. Paling hebat ya Ibu gue, di antara dilematiknya Beliau ingin gue melanjutkan kenotarisannya, walaupun dengan marah-marah Beliau melepaskan gue dan mendoakan gue lolos seleksi. Akhirnya.

Memang apa yang gue pilih sebetulnya nggak ngenes-ngenes amatlah ya jadi psikolog, tapi ya untuk kebanyakan orang mungkin juga sebetulnya agak grey area, bener-bener mulai sendiri gitu. Guepun tiap hari mikir, kalau bisa gue nggak hanya jadi professional yang hanya duduk diam menunggu klien, gue ingin mengusahakan satu perubahan kecil, tapi itu masih lama. Gue nggak tau kontribusi gue sebesar apa nantinya dan hidup gue gimana ntarnya. Tapi yaudah gapapa, gue mau coba jalani dulu dengan segala amunisi yang gue punya, semoga apa yang diniatkan baik tetap baik jalan ke depannya, walaupun beberapa waktu gue akan bimbang dan khawatir ini-itu, namanya manusia.

Dan terakhir, satu bulan setelah masuk ada seorang dosen baru yang kebetulan tidak berasal dari bidang psikologi. Ketika itu, beliau menghampiri gue dan sekelompok teman yang sedang belajar materi psikopatologi anak. Beliau bertanya ini apa itu apa, oh apa benar begini apa benar begitu, dll. Sampai satu kali Beliau berkata, “Wow, it’s very useful and you can make money out of it, isn’t it?”

Lalu satu meja saling menatap satu sama lain dan menjawab bersamaan, Insya Allah.” -fin

Welcoming 2012

2 Jan

HAPPY NEW YEAR!!!..

Well, so the truth is I’m not a kind of person who celebrates new year sih, Cuma ya gue merasa banyak yang harus ditumpahkan aja. Kasian ya blog ini, lama banget nggak diupdate dan 2011 nampaknya nggak banyak hal berguna ditulis juga hehe. Biasanya bahkan pada saat ulang tahun gue pasti update sesuatu, tahun ini tidak sama sekali.

2011 is over, and yah it was not my favorite year anyway. Why? What is always happens, life. Some were good, some were just hard to be passed by.

Awal 2011 gue berkutat melanjutkan skripsi gue, yang pada saat itu sesuai target, bab 3 disusun. Well skripsi brought many surprises. Gue kecewa dengan kinerja gue yang tertabrak dimana-mana. Menurut gue, gue mengerjakannya nggak semaksimal itu, gue lebih fokus menyeimbangkan kondisi emosi gue sendiri. Yah hasil akhir tidak buruk sih, tapi effort gue buruk. Prosesnya sangat buruk.

Setengah tahun di 2011 isinya Cuma ¼ skripsi, sisanya bengong, air mata, and all those efforts to keep myself strong enough to finish my final thesis, emotionally. Setelah siding nggak berama lama yah I broke up, wew hard enough, Cuma dengan durasi air mata 5 menit, life goes on, the show must go on, gue mendingin satu bulan.

2011 banyak hal baru dalam waktu yang berdekatan terjadi. Gue menghabiskan waktu banyak dengan beberapa teman, mencoba hal-hal baru yang yah sebelumnya nggak ada di kepala gue. Gue masih berbakti buat kampus, gue mentraining anak kampus sebelah, mengajar selama 2 minggu, and it was superfun, gue punya murid-murid yang fun dan membahagiakan, mereka memberikan gue sebuket bunga pas wisuda, nelfon di susahnya kerumunan dan sinyal balairung, terimakasih :). Yah graduation also came in 2011. Waktu gladi resik di balairung, gue Cuma diem dramatis mikir “Dulu rasanya tempat ini jauh banget dan sekarang kok udah sampe..”

Time flies, and you know you’re super-unemployed when everyday you watch those morning live music tv shows haha. Ketika semua teman sudah mulai mendapat pekerjaan, gue berhenti melarikan diri dari ke-gloomy-an gue dan mendaftar pekerjaan di salah satu perusahaan asing. Tanpa disangka-sangka ta-daaa gue keterima. Alhasil 1/3 tahun 2011 habis dengan bekerja.

2011 yah ada 2-3 iklan muncul setelah 1 orang berlalu. Sayangnya ya iklan ya Cuma iklan, seberapa bagusnya dia Cuma bisa diperhatikan dalam waktu yang singkat, kalo kelamaan main shownya ga muncul-muncul dan gue bosan. Main show gue ya well I have to admit, mungkin season 2 kali ya. Gue gapunya apapun di kepala gue awalnya, jalan aja, liat nanti. Sampai it turned out beberapa kata-kata gue dengar dan seperti biasa gue drop. Yaudahlah we’ll see.

One of the good thing in 2011, banyak orang baru :). I love my bosses, also new great friends from the office. Gue bermain dengan peer yang berbeda-beda dan fun. Pekerjaan sih ya gitu-gitu aja, I might say it’s not my passion, but this company taught me a lot. The greatest insight is how to live your life.

My birthday was sweet, I have no further explanation, even I was sick, I was superhappy, thank you, office fellas, my bosses, my friends, didi and the gank, and especially aufklarung with Krishna the big bear hehe 🙂

I told him, I can’t stop, I have things to do, i have to work, back to school, and plan some stuffs for my future, I can’t stop, and the biggest consequences is I can’t be as fun as in his head. Udah lewat, udah entah dari taun berapa masa-masanya gue hingar-bingar gitu. Nggak ada tenaga sekarang. Call me ‘nggak seru’, I’m fine with it. This is what always happen, Life, you move on.

So, 2012, please be smoother and less-dramatic, this is the dragon year right? Hopefully my year ya 🙂 -fin

Mengusahakan Memilih

12 Aug

They say we manifest our intentions that we choose how we live, but when life doesn’t turn out the way you’d hoped it makes you stop and wonder did you ever really have a choice or is this just the way it was meant to be? How much of our lives can we choose and how much is just who we are?” (Erica Strange, Being Erica season 3)

Quote barusan gue ambil dari salah satu serial tv Canada yang cukup menarik perhatian gue akhir-akhir ini. Judulnya Being Erica. Serial ini pada umumnya menceritakan tentang seseorang yang mengalami banyak kekecewaan dalam menjalani hidupnya yang sekarang diakibatkan oleh kesalahan keputusan-keputusan yang Ia tetapkan sebelumnya. Erica diberi kesempatan menjalani time-traveller therapy untuk dapat kembali ke masa lalunya dan mengambil insight dari hal-hal yang telah Ia jalani, bukan merubah decisionnya.Sebetulnya sih gue bukan mau menceritakan si Being Erica ini, Cuma ya ilustrasi singkat aja siapa tau adiksi gue terhadap serial ini bisa ditularkan ke kalian yang membaca postingan gue kali ini hehe.

Here it is, one of my friends lost a parent a few days ago. It was sad, supersad. Teman gue ini ya salah satu orang yang menurut gue dalam jangka waktu dekat gue mengenalnya termasuk orang yang baik hati dan menyenangkan. Dia pernah berbagi beberapa cerita mengenai kehidupannya. Waktu itu kami pernah mengobrol berjam-jam mengenai keputusasaannya menyelesaikan kehidupan perkuliahannya yang memang di ujung tanduk. Dia menjelaskan bagaimana sedari dulu sebetulnya memang kurang memikirkan pendidikan atau masa depan atau hal apapun yang sifatnya bisa dipikir nanti. Beberapa keputusan dia di masa lalunya mungkin turut mendukung kondisinya saat ini. Ya selain memang dengan fakta kehidupan ekonomi dan latar belakang keluarga yang menurutnya turut membentuk kondisinya sekarang ini. Pada akhirnya memang kondisinya yang di ujung tanduk tidak dapat diselamatkan dan kemudian musibah lain datang. Ketika gue mendengar kabar duka tersebut, gue terdiam aja sih membuang nafas berat sambil kepikiran “Aduh gimana ya dia nanti nasibnya ke depannya?” dan gue sama sekali nggak bisa membayangkannya.

Di waktu lain gue menghadiri sebuah seminar menulis novel dengan pembicara Ahmad Fuady. Beliau adalah pengarang novel negeri 5 menara, yang sejujurnya gue juga belom baca. Gue mendengarkan kisah hidupnya dari kecil secara singkat. Bagaimana Ia sebagai pemuda dari daerah di minang yang sekolah agama dan ekonomi tidak memadai lalu dengan segala kegigihannya mencapai tujuan Beliau bisa keliling dunia. Beliau bilang, modalnya hanya dengan menulis dan segala macam pintu terbuka. Pada seminar itu gue mendengarkan kalimat demi kalimat yang Beliau ucapkan mengenai bagaimana proses menyusun novelnya. Keputusannya untuk menjalani sekolah agama mana yang menurutnya mungkin masih bisa membuatnya belajar tidak hanya lingkup keagamaan saja, keputusannya untuk menulis dengan tujuan berbagi ke orang lain. Gue mengagumi keteraturannya menjalani hidup, dan struggle of lifenya menjalani masalah-masalah dalam kehidupannya.

Setelah seminar tersebut gue pulang larut dan Ayah gue ternyata masih terduduk di ruang TV menunggu gue kembali ke rumah. Gue memilih duduk ikut nonton tv ketimbang masuk ke kamar. Gue bilang, gue takut, takut membayangkan nanti gue gimana, dengan dinamika hidup gue yang kurang jelas ini. Gue takut kalau nanti gue harus bernasib kehilangan segalanya dan cenderung nggak punya jalan atau sulit menemukan jalan menstabilkan kehidupan gue. Selama ini gue hidup enak aja, aman-aman aja, teman-teman dekat gue juga sama, tiba-tiba gue ketemu 1-2 orang yang bener-bener pola hidupnya mencengangkan. Mereka yang bener-bener menganggap kehidupan gue sama dengan teori di buku, terlalu teratur, terlalu naïf, ribet karena semua serba direncanakan atau semua serba dipikirin. Sementara mereka-mereka ini orang yang hidup untuk hari ini, bahkan mungkin hanya jam ini. Dan mereka yang memperlihatkan ke gue kesulitan hidup hari ini atau besok mikir makan apa, bayar sekolah gimana itu begitu dekatnya ternyata dengan lingkungan gue, ya iya sih. Gue bilang ke ayah gue, kenapa bisa ada orang yang sebegitu carelessnya terhadap hidupnya apa dia nggak takut? Sekali lagi entah berapa juta kali ayah gue hanya menjawab, “Lah kamu kok kaget? Ya biasalah orang itu kan dia memilih sendiri jalan hidupnya, itu yang mereka pilih ya sudah mau gimana lagi, dia Cuma beda aja pilihannya sama kamu, atau sama Fuady mungkin? Beda aja masalahnya beda, beda memilih jalan kehidupan.”

Sama seperti quote yang gue paparkan sebelumnya, dimana gue memanifestasi intensi gue terhadap banyak hal untuk mengejar dan memilih kehidupan yang gue inginkan, mungkin untuk tahun depan, 3 tahun, 5 tahun, atau bahkan 10 tahun dari sekarang. Tapi tetep kan nggak tau gitu di depan ntar ada apaan. Dan itu menakutkan kalau dipikirin kelamaan. Kegundahan gue tetap gue ceritakan panjang lebar kepada Ayah gue, mengenai ketakutan ntar gimana kalo tau-tau gue bener-bener drop idupnya, dsb. Beliau hanya melirik sebentar dan berkata, “Ya itu makanya kamu sekolah kan? Kuliah sampe selesai? Mengusahakan semampunya sampai bisa lulus? Lo mengusahakan keteraturan dalam hidup lo setidaknya.”

Kata Ayah gue, sebetulnya dalam hati tiap orang pasti mau hidup nyaman, bahagia, dan ingin teratur. Bukan masalah bisa pasti menjamin kehidupan nanti, tapi setidaknya peluang untuk hidup nyaman bagi mereka yang menteraturkan hidupnya bisa jadi lebih besar. Walaupun ya di luar sana masih bisa ditemukan ada beberapa orang yang emang nggak taulah kenapa ketiban aja gitu musibah dan jadinya tetep timbul pertanyaan, hidup kita tuh kita yang milih apa udah dikasih garis dari sananya?

Ketakutan mengenai dikasih garis dari sananya ini sih krisi terbesar gue akhir-akhir ini. Terus bisa apa? Ketimbang gue kebanyakan bengong gitu mungkin gue usaha aja kali ya, mendeterminasikan semua hal supaya sampai ke goal gue yang masih terus-terusan bercabang juga. Setidaknya gue mengusahakan untuk memilih hidup gue, ya paling tidak gue berusaha memilih gue akan jadi siapa entah nantinya porsi mana yang lebih besar diberikan kepada gue, porsi pilihan gue atau porsi yang sudah tergaris dari sananya yang betul-betul misteri.

Well however I do believe that we are consist of the decisions we made before, they construct ourselves today. Hm decision making is one of the survival skills in the end.-fin

Bukan “Guru”

11 Jul

Suatu sore di kanlam (kantin lama) Psikologi UI

Gue : Mas, kalo misalnya lo bertemu klien dan hmm katakan saja harapan dia bisa sembuhnya hanya 5% apa yang akan lo lakukan?

Dosen Gue: Tinggalkan, apalagi kalau memang dia tidak mau menolong dirinya sendiri, masih banyak orang lain dengan persentase lebih besar untuk bisa diselamatkan. Tinggalkan.

***

“Laki-laki datang bertemu muka dan pulang bertemu punggung.” Sekitar dua bulan yang lalu Ayah gue mengatakan hal itu kepada gue. Gampangannya kalo kata orang-orang yang udah nonton catatan si boy, “Lo udah start, harus sampe finish.” Gue akan menuliskan kejadian yang menimpa gue sejauh ini. Bukan dengan maksud menjatuhkan siapapun, gue hanya mau menumpahkan segala hal, kekecewaan, kekesalan, dan tentunya dengan rasa syukur yang sangat dalam atas semua hal yang menimpa gue. Gue tidak menyesal, I’m gonna walk tall. Dan selalu ada 2 sisi dalam cerita apapun. This is from my side. Dan ini cara gue menenangkan diri.

Mungkin semuanya berawal dari kekaguman gue terhadap seseorang dari jauh. Mengagumi ciptaan Tuhan dengan sewajarnya, tanpa mengenal, tanpa mengetahui lebih dalam, hanya sekedar “Ohh oke ya.” Dan mungkin sebaliknya itu yang terjadi dari sisinya atau bukan, gue juga tidak tahu. Gue akan menyebut oknum yang akan diceritakan dengan subjek ‘dia’.

Di satu kesempatan akhirnya kami berkenalan dan dia luar biasa santun, kata-katanya bagus, bahkan mau berteriak juga ijin dulu nggak enak, padahal setau gue anaknya rame hingar bingar hehe. Datang dengan semua cerita kehidupannya dan membuat gue jatuh dan berpikir mungkin kita bisa memperbaiki semua keadaan bersama, apa yang tidak ada di gue ada di dia dan sebaliknya. Spesies berbeda. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue nggak stick to my plan, bener-bener jalanin aja.

Sampai di suatu titik beda spesies itu berarti beda kebiasaan, penyikapan, tutur kata, dan yang paling parah adalah perbedaan paradigma berpikir. Apa yang penting di gue belum tentu penting di dia dan sebaliknya, walaupun kadang sebetulnya secara garis normal beberapa hal itu penting bagi kami bersama. Time flies. Apa yang dikenal di awal berbeda dengan kenyataannya. Impresi hanyalah sekedar impresi, realita tetap tak bisa dihindari. Apa hal yang paling buruk yang pernah lo alami dalam sebuah relationship? Diteriaki dengan kata-kata kasar? Dicuekkin? Excess baggage masih mengingat masa lalu? Come on I had it all in one package man.

Pelampiasan amarah menjadi sangat mudah dilakukan, kata-kata kasar berjatuhan tanpa ada penyaring batas-batas kemanusiaan, dari mulai goblok, tolol, bego sampai sepaket kebun binatang. You don’t say those things to people, especially your spouse. Dan gue? Diem ajalah, karena bahkan dalam otak gue, gue jijik membayangkan kalau sampai gue harus mengatakan hal-hal itu ke orang lain, nggak proper dan nggak perlu. Berbicara dengan orang ini kesulitannya adalah batas-batas salah dan benar adanya bukan di distribusi normal, tapi di dirinya. Sekali gue bertingkah laku atau berbicara yang tidak mendukung wahamnya yang konon berasal dari perasaannya (maksud gue, enak di dia nggak? Menyamankan dia nggak?) maka output yang keluar adalah “Kamu sotoy”. Walaupun detik berikutnya dia akan berkata, “Ya tapi aku tau kamu bener.” Emang kadang-kadang rasio sama emosi itu untuk beberapa orang sampai tuapun nggak akan pernah bisa berimbang.

Dan hari-haripun tetap berlalu. Kesalahan gue yang terbesar adalah memang memikirkan perkataan beberapa orang terdekatnya terlalu dalam dan sering untuk sabar, memaklumi, dan segala macam yang tidak usah disebutkan detailnya. Smita bilang, “The hardest part is not forgiving others, but forgiving yourself. For letting yourslef drag  into that kind of situation”. Hmm iya. Mungkin gue juga typical yang nggak terjun langsung tapi bergerak around environment menjaga apa yang dia lakukan dan penting bagi hidupnya agar nggak gagal. Ujung-ujungnya gue disadarkan oleh beberapa orang lain bahwa itu bukan tanggung jawab gue, gue nggak bisa merubah ya bukan salah gue, salah dia yang nggak mau menolong untuk merubah dirinya sendiri. Dan guepun menghela nafas panjang, iya juga ya. Walaupun tetep diterusin. Aduuhhhh….

Spiteful words hurt your feelings..it’s a soul mutilation. Gue mendengar di depan mata gue bagaimana dia menyebutkan bahwa “Masa aku mesti nurunin standar aku buat kamu?” Oke mungkin maksudnya nggak segitunya tapi output kata-katanya gitu. Dan gue terdiam beberapa hari karena beberapa kata-kata yang gue dengar dan mungkin nggak usah dibahas. Excess baggagenya juga bener-bener nggak terkontrol. Gue tau every little detail mengenai apa yang ditulis di social networks atau foto yang diganti berasosiasi dengan masa lalunya. Menyakitkan sih  dan gue diam. Kenapa? Karena kalau gue confront tidak ada gunanya dan saat itu urusan kehidupan gue yang lain sangat penting untuk diselesaikan jadi mending gue menstabilkan emosi gue.

Waktu tetap berlari, sampai suatu hari gue mendapatkan bbm mengenai sudahlah semua diakhiri dengan rentetan kata-kata malas, capek, dan sekian hal egosentris lainnya dan tetap kata-kata kasar. Malam itu gue melarikan diri ke rumah temen gue, menenangkan diri sendiri. Lebih ajaibnya beberapa hari setelah itu dia datang tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa kata-kata apapun seolah-olah nggak terjadi apa-apa, Dan guepun tetap diam berusaha mengerti, “Oh mungkin kemaren kecapean atau ada sesuatu yang buruk terjadi.” Ikhlas.

Semua dimulai lagi dengan baik. Dan yah tau kan ada beberapa orang di dunia ini yang walaupun kesempatan jenis apapun diberikan berkali-kali ujung-ujungnya tetap dirusak juga? Suatu hari akhirnya dia hilang tidak berkabar. Yasudah. Sehari, dua hari dan berhari-hari. Sampai gue mendengar dari seseorang bahwa oh dia sudah tidak “berasa” lagi nih. Gue menghubunginya, untuk bertemu dengan maksud menyelesaikan dengan baik segala hal yang ada. Normal gitu udah gede. Dan nggak mau, katanya malu belum berani bertemu. Yaudahlah orang emang ada flawnya masing-masing. Beda-beda aja.

Setelahnya gue  pergi jalan-jalan mengurangi pikiran batin dan kembali. Dengan harapan ayo selesaikan semua atau mungkin benerin, apapunlah dengan baik-baik. Dan yang gue dapatkan hanyalah disaster demi disaster yang membuat kepala gue mengutuknya berkali-kali, sampai gue sadar, nggak sehat.

Masih terpeta jelas di kepala gue ketika pada momen akhirnya kalimat-kalimat ajaib yang membuat gue menghela nafas berkali-kali dilontarkan. Detailnya gausah disebutinlah yaa, ntar emosi terus jadi sama disfunctionnya heheh gabaik juga. Dan tetap sampai akhirpun gue masih diberikan wejangan sempurna dari bahasanya mengenai tolol dan teman-temannya. Dan ditutup dengan bye nih pake 🙂 buat formalitas. And via bbm again. Ahh there’s a big difference between a jerk and a coward. Yakali jadi samsak kesalahan guenya.

Malam itu gue menyetir ke luar rumah dan dihampiri beberapa orang yang nggak tau dateng dari mana tapi Alhamdulillah. Gue pulang dan bertemu ayah gue. Gue menghela nafas mengeluarkan air mata sedikit dan berkata, “Satu-satunya hal yang gue sesali adalah kenapa gue nggak bisa membalas balik semua omongan yang kasar? Kenapa bahkan ketika gue mau mengeluarkanpun nggak mampu, gue mau meluap emosinya nggak bisa karena menurut gue itu nggak manusiawi banget, bukan gitu cara ngetreat orang lain. Dan itu membuat gue lemah karena gue diam, diam dan diam ckk.” Ayah gue cuma menjawab, “Bagus kan? Kamu dari spesies yang berbeda, value berbeda, kalo merasa nggak pantes nggak usah dilakukan, toh kualitas hidup kamu juga berbeda, dia bukan guru kamu.”

Oh iya, nggak semuanya apa yang dilakukan orang mesti dibales sama. Setidaknya gue tidak perlu mendegradasi apa yang ada dalam diri gue. Seorang teman berkata ke gue, “Gue nggak ngerti kalo gue jadi lo, how do I cope with that?” dan gue cuma senyum-senyum aja, “Yah life’s good mannn, lesson learnt uhuy.” *sambil tetep dengerin netral berisik di mobil dan ngamuk-ngamuk dikit haha ya wajarlah ya semogaaaa. Gratefully, I have a good family, teachers, and friends that lead me to a good life, amien..and they always keep my head up for everything. As Mark Sloan from Greys Anatomy told Callie Torres “All you have to do is be brave enough to get out there. You fought, you loved, you lost. Walk Tall Torres.”

Satu hal, semoga kamu tergerak untuk datang bertemu muka dan pulang bertemu punggung. Thanks for your kind words 🙂 (and this is not only for formality dear). And for real, wish you all the best -fin

Tentang Berubah

30 Apr

Beberapa hari lalu gue mengobrol cukup panjang dengan seorang teman. Oke untuk mempermudah gue menceritakannya selanjutnya si seorang teman ini akan gue berikan nama fiktif. Sebut saja Agus namanya. Agus menceritakan beberapa hal yang berkecamuk di kepalanya dan ujung-ujungnya membawa ketidaktenangan emosinya.

Pada intinya Agus mengalami masa merasa hidupnya yang sekarang ini bukan gambaran hidup yang cukup baik dan masalah utamanya adalah dia merasa pola hidupnya yang sekarang ini kemungkinan besar tidak akan bisa menunjang dan compatible dengan hidup pasangannya ke depannya. Entah ya, akhir-akhir ini gue sering sekali mendengar permasalahan serupa datang dari teman lama dan teman baru juga yang berpusat pada kecemasan berlebihan akan apa yang sedang terjadi di depan mata.

Gue terdiam lama mendengarkan bermenit-menit berlalu dihabiskan dengan Agus menjabarkan seberapa besarnya Ia ketakutan menjalani hidupnya. Nggak lugas sih dia bilang, cuma tergambar aja sebetulnya takut banget. Agus bilang dia tau sebagai laki-laki harusnya dia lebih bisa memperjelas hidupnya, memikirkan pekerjaan apa yang nantinya harus dijalani karena Ia memang berpikiran untuk memiliki keluarga. Satu hal sih, Agus tau semuanya yang harus dia lakukan hanya saja penyakit orang kebanyakan adalah Agus memilih nggak mau, atau mungkin belum mau ya. Sebuah percakapan yang sampai sekarang ini masih terekam jelas di kepala gue adalah sebagai berikut :

Agus : Gue tuh egois anaknya, maunya ya gue melakukan hal-hal yang ada dulu aja nih maunya seneng-seneng

Gue : Oh terus ?

Agus : Ya gue tau harusnya nggak gitu, gue tau nih harusnya gue berubah biar lebih baik hidupnya

Gue : Err, lo berharap nantinya lo bisa punya keluarga kan? Mungkin ya mungkin menurut gue yang lo jalanin sekarang nggak cukup dong, siapapun yang bersama lo pasti waswas kan memikirkan ntarnya gimana kalo kelihatannya lo nggak berusaha apapun buat hidup lo sendiri?

Agus : Iya sih

Gue : (Ngeliatin)

Agus : Tapi kalo gue nggak egois lagi gue berubah dong? Gue nggak jadi diri sendiri?

Dan setelah kalimat barusan gue menghela nafas panjang, mengingat sebuah quotes yang dibicarakan Ramda dan Dhea di Anomali minggu lalu..

“People don’t want their lives fixed. Nobody wants their problems solved. Their dramas. Their distractions. Their stories resolved. Their messed cleaned up. Because what would they have left? Just the big scary unknown. “–Chuck Palahniuk

Berbulan-bulan yang lalu mungkin gue nggak bisa mengerti sama sekali kenapa ada orang yang tau masalahnya banyak bukannya diselesein malah ditambah terus-terusan. Dan sekarang makin keliatan jelas emang banyak juga sih orang begitu entah kenapa. Sedihnya, ya sedihnya buat gue adalah apabila pola berpikir seperti itu terdapat di orang-orang terdekat gue. Hal terakhir yang gue bilang ke Agus sambil menghela nafas adalah, “Gimana kalo dianggapnya bukan merubah tapi memperbaiki, beda lho.” Dan si Agus hanya menjawab, “Oh gitu ya, iya sih.” Alhamdulillah, walaupun mungkin efeknya temporer.

Mm mungkin susah ya menerima apa yang sudah ada, belum ada, salah, dan benar yang terdapat di dalam diri kita sendiri. Gue sendiri susah misalnya disuruh memberhentikan bagaimana gue selalu overthink akan banyak hal, padahal itu efeknya membuat gue mengalami kecemasan hampir tiap hari. Cuma normalnya, standar normalnya, ketika sesuatu itu sudah bisa dinilai nggak menyamankan untuk diri sendiri atau bisa diukur bagi kehidupan sendiri nantinya itu bisa mendatangkan masalah besar, sebaiknya langsung diperbaiki dari sekarang. Hanya saja mungkin batasan normal belum bisa menjadi takaran utama baik dan buruk semua orang. Apa yang baik buat gue mungkin tidak baik bagi misalnya Agus mungkin? Dan sebaliknya

Satu hal yang gue ingatkan Agus untuk dipikirkan baik-baik. Gue bilang ke dia, perubahan dan perbaikan itu datengnya dari diri sendiri, bukan dari orang lain, bukan dari lingkungan, jangan manja nyalah-nyalahin lingkungan hidup atau nyalahin orang lain nggak bisa merubah dirinya ke arah yang lebih baik. Dan  jangan defense pernyataan gue dengan itu teorinya, nyatanya nggak begitu. -fin