Well I know it’s been a very long time that I haven’t written anything in this blog. I do really miss writing and here I am trying to continue what I’ve done before.
Sebetulnya sudah agak lama ingin menulis lagi, terlalu banyak yang ingin dibicarakan dari mulai tidak penting sampai mungkin agak sedikit penting, cuma ya biasa banyak distraksi yang berseliweran sehingga lebih baik dibiarkan saja dulu sampai gue benar-benar mulai ingin menulis lagi.
Tadinya gue sempet dilema dengan beberapa keadaan, apa mau ganti image blognyakah atau ganti addressnya sekalian atau apapun. Tapi yaudahlah let this be genuine, whatever happens, happens. Toh menulis buat gue bukan sekedar membangun citra diri, tetapi juga merupakan sublimasi dari hasrat eksplorasi yang mulai meloncat kesana-kesini, atau ya mungkin dari dulu juga begitu sih.
Sebelum kebasian menulis gue dari awal tahun 2012 berlanjut dengan sempurna, gue mau mulai menulis blog ini dengan suatu hal yang mungkin sudah tersangkut di otak gue berhari-hari, terselip di kepala seorang perempuan yang dalam beberapa waktu lagi menginjak quarter life crisis, dilema masa depan.
Dimulai dari detik dimana skripsi gue selesai dibimbing oleh seseorang yang sudah gue kagumi sejak lama, Ibu Tati, atau kalau tertarik mencari tahu Beliau siapa you may also browse or google her name : Prof. Sri Hartati Reksodipuro Suradijono. Pada akhir bimbingan Beliau mengatakan sebuah kalimat yang membuat gue merinding, “Follow your passion, money will come along with it.”
Gue menghela nafas panjang setelah menceritakan berbagai macam rencana di kepala gue yang menurut gue menakutkan. Rencana yang menurut gue kayaknya gue sendiri nih otaknya nggak mampu juga mencapai ke sana. Makanya kenapa gue sayang banget sama pembimbing gue, dia terus-terusan menyemangati gue berjalan sampai detik dengan langkah yang lebih yakin. Beliau terakhir sms “If you have anything to share, share with me.”
Oh iya mungkin loncat, saat ini gue melanjutkan kuliah gue ke S2 profesi psikologi klinis anak UI, sekali lagi mengadu nasib dan menantang kegigihan di tempat yang sama. Baru berjalan sekitar 2 bulanan lewat dan banyak orang baru yang gue temui mulai dari dosen sampai teman-teman kelas yang membuat gue semakin semangat bersekolah, setidaknya sampai hari ini.
Sebelumnya setelah lulus gue mencoba bekerja di suatu bank asing menjadi HR-recruitment, dengan sebuah alasan sederhana yaitu ingin mengeksplorasi hal lain di luar hal yang gue minati, perkembangan anak dan pendidikan. Gue nekad beralih ke sebuah field yang gue sama sekali nggak minat, industri organisasi dan corporate, iya corporate, mau tau aja dia sehebat apa. Mungkin di post selanjutnya gue akan ceritakan lebih jelas pekerjaan gue ini, gue hanya bisa bilang gue bersyukur pernah bekerja walaupun sebentar dengan tim yang hebat dan di sebuah corporate ternama dengan segala lika-likunya. Satu hal yang sangat gue syukuri adalah support dari para bos gue dengan semua keputusan gue.
Sedari awal gue interview, gue memang mendaftar di program internship mereka yang kualifikasinya bachelor degree in psychology dengan durasi 6 bulan. Ketika interview gue ditanya mengenai minat gue dan alasan gue mau bekerja di corporate tersebut. Gue jawab jujur bahwa gue tidak memiliki minat di field banking, corporation, dll, gue hanyalah seseorang yang baru lulus dan ingin bekerja, mencari ilmu di sebuah pekerjaan dan di hal yang tidak pernah gue minati tapi gue tau itu penting. Interviewer gue adalah supervisor gue, Beliau bernama Mba Dewi Sukmawaty. Mba Dewi sempat bilang “Kalau minat kamu ke anak-anak saya bisa bantu carikan teman-teman yang relevan di field kamu, tetapi I assure you, I don’t know that we can meet your expectation of learning or not, tapi kamu bisa belajar banyak hal yang nantinya bisa membantu kamu di field yang kamu pilih, walaupun tidak secara langsung.” And those magic words are really helpful. Satu hal yang sangat gue pelajari adalah, membangun kenyamanan dari dalam diri sendiri, bukan dari faktor eksternal.
Singkat cerita, kontrak gue pada saat itu sudah habis dan gue ditawarkan untuk memperpanjang. Keputusan gue supergambling, gue melepas kontrak gue dan ikut seleksi. Hebatnya, dukungan dari Mba Dewi dan Mba Ira (Bos gue satu lagi) dan sederet team HR luar biasa. Satu hal yang paling gue ingat adalah kata-kata Mba Dewi di hari gue megundurkan diri, “Jangan sampai kita dikontrol stress, kalo stress kamu harus kontrol balik stressnya, aku yakin kamu pasti bisa kerja apa aja Saski.”
Kata-katanya biasa kan? Kebanyakan orang pasti pernah dengar, tapi buat gue, itu obor semangat baru setelah Bu Tati dan keluarga gue pastinya. Keluarga gue yang mendukung keputusan gue membelot karir dari awal, memutuskan tidak berkarir di bidang-bidang yang biasa ditekuni keluarga gue. Paling hebat ya Ibu gue, di antara dilematiknya Beliau ingin gue melanjutkan kenotarisannya, walaupun dengan marah-marah Beliau melepaskan gue dan mendoakan gue lolos seleksi. Akhirnya.
Memang apa yang gue pilih sebetulnya nggak ngenes-ngenes amatlah ya jadi psikolog, tapi ya untuk kebanyakan orang mungkin juga sebetulnya agak grey area, bener-bener mulai sendiri gitu. Guepun tiap hari mikir, kalau bisa gue nggak hanya jadi professional yang hanya duduk diam menunggu klien, gue ingin mengusahakan satu perubahan kecil, tapi itu masih lama. Gue nggak tau kontribusi gue sebesar apa nantinya dan hidup gue gimana ntarnya. Tapi yaudah gapapa, gue mau coba jalani dulu dengan segala amunisi yang gue punya, semoga apa yang diniatkan baik tetap baik jalan ke depannya, walaupun beberapa waktu gue akan bimbang dan khawatir ini-itu, namanya manusia.
Dan terakhir, satu bulan setelah masuk ada seorang dosen baru yang kebetulan tidak berasal dari bidang psikologi. Ketika itu, beliau menghampiri gue dan sekelompok teman yang sedang belajar materi psikopatologi anak. Beliau bertanya ini apa itu apa, oh apa benar begini apa benar begitu, dll. Sampai satu kali Beliau berkata, “Wow, it’s very useful and you can make money out of it, isn’t it?”
Lalu satu meja saling menatap satu sama lain dan menjawab bersamaan, “Insya Allah.” -fin
Recent Comments